• Home
  • Posts RSS
  • Comments RSS
  • Edit
  • Assalamualaikum wr.wb.

    Assalamualaikum wr.wb.

    Senin, 20 Oktober 2014

    Analisa Jurnal Bronkitis

    TINJAUAN INTERAKSI OBAT DALAM TERAPI BRONKHITIS PADA PEDIATRI DI INSTALASI RAWAT JALAN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CILACAP


    ABSTRACT
    Bronkhitis merupakan peradangan dari satu atau lebih pada saluran pernafasan ( bronkus) peradangan ini disebabkan oleh banyak faktor. Penyebabnya bisa dari bakteri, alergi, dan lainya. Pengobatan bronkhitis memerlukan lebih banyak obat dalam terapi sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya Drug Related Problems (DRPs). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Potensial Drug Related Problem pada terapi bronkhitis anak di RSUD Cilacap khususnya interaksi obat. Identifikasi DRPs meliputi efek obat yang merugikan (Adverse Drugs Reactian / ADR) atau interaksi obat. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan metode penggumpulan data secara retrospektif. Bahan penelitian yang digunakan adalah catatan medis pasien. Analis data dilakukan dengan membandingkan data dengan buku buku yeng relevan (Drug Interaction Fact and Stockley;s Drugs interaction). Hasil penelitian menunjukkan terjadi 20 % ADR dari 140 kasus. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan terjadi potensial DRPs pada terapi bronkhitis anak di RSUD Cilacap, khususnya interaksi obat.



    Kata Kunci : Anak, Terapi Bronkhitis, Potensial DRPs, RSUD Cilacap, Interaksi Obat, Efek Obat Yang Merugikan




    BAB I
    PENDAHULUAN


    1.1 Latar Belakang Masalah
    Pengobatan yang baik merupakan upaya pencegahan yang paling penting karena dapat mengurangi penyebaran penyakit tersebut dimasyarakat, kegagalan pengobatan / kambuh setelah pengobatan yang tidak teratur atau kombinasi yang buruk (Katzung,B.G., 2004). Pemakaian obat dikatakan rasional jika diagnosis tepat dan pemilihan obat yang terbaik untuk penyakit tersebut, dosis yang tidak rasional yaitu pemberian obat yang sebenarnya tidak perlu misalnya pemberian antibiotik pada infeksi yang ditimbulkan oleh virus, seringkali dokter memberikan obat berdasarkan gejala-gejala yang dikeluhkan penderita tanpa mempertimbangkan penting/tidaknya gejala yang dihadapi. Oleh karena itulah maka banyak mendorong terjadinya pemakaian obat dari 1 macam yang sebenarnya tidak perlu, hal ini dikenal dengan istilah over prescribing atau disebut juga poli farmasi (Katzung, B.G., 2004). Penggunaan obat yang tidak rasional dapat berdampak negatif kecuali tes pelayanan, keamanan, pelayanan pengobatan (menimbulkan resiko atau efek obat yang tidak diinginkan) terhadap biaya pelayanan (menambah biaya) dan dampak psikososial yang mengurangi kepercayaan masyarakat (Katzung, B.G., 2004).
    Di Negara berkembang seperti Indonesia infeksi saluran pernafasan bawah masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting. Resiko penularan setiap tahun di Indonesia di anggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3%, sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita bronkhitis hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita bronkhitis (Arif, M., 2008). Bronkhitis adalah suatu peradangan pada bronkus, bronkhiali, dan trakhea (saluran udara ke paru-paru). Penyakit ini biasanya bersifat ringan dan pada akhirnya akan sembuh sempurna. Tetapi pada penderita yang memiliki penyakit menahun (misalnya penyakit jantung atau penyakit paru-paru) dan usia lanjut, bronkhitis bisa menjadi masalah serius (Arif, M., 2008).
    Pada terapi bronkitis yang bertujuan untuk menghilangkan simtomatis dan bakteri, infeksi membutuhkan beberapa obat sekaligus dalam sekali terapi, hal ini menimbulkan masalah yang dikenal dengan poliformasi, sedangkan dengan poliformasi adalah penggunaan obat yang berlebihan pasien dan penulisan obat berlebihan oleh dokter dimana pasien menerima rata-rata 8-10 jenis obat sekaligus sekali kunjungan dokter atau pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui obat dan dapat disembuhkan dengan satu jenis obat (Tan dan Rahardja, 2002). Sehingga dapat menimbulkan efek samping dan akan menimbulkan Drug Related Problems khususnya interaksi obat. Drug Related Problems adalah sebagai kejadian tidak diinginkan yang menimpa pasien yang berhubungan dengan terapi obat dan secara nyata maupun potensial berpengaruh terhadap terapi obat.

    1.2 Metode Penelitian
    Tempat Penelitian
    Tempat penelitian tentang evaluasi pengobatan terapi bronkitis pada pasien Rumah Sakit Umum Daerah Cilacap.

    Batasan Variabel Operasional
    Bronkitis adalah peradangan dari satu atau lebih pada saluran pernafasan (bronkus), peradangan ini disebabkan oleh banyak faktor. Penyebabnya bisa dari virus, bakteri, alergi. Peradangan yang akut bisa terjadi secara singkat atau panjang (Arif, M, 2008). Pengobatan yang rasional adalah menyangkut tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, tepat pasien dan mewaspadai efek samping obat (Katzung, B.G., 2004). Evaluasi penggunaan obat kejadian potensial DRPs khususnya interaksi obat. Drug Related Problems (DRPs) adalah sebagai kejadian tidak diinginkan yang menimpa pasien yang berhubungan dengan terapi obat secara nyata maupun potensial berpengaruh terhadap terapi obat (Cipolle, etc.,1998). Kriteria Pasien bronkitis adalah adalah pasien anak yang mengalami peradangan pada bronkus, bronkhiali dan trakhea (Cople dan Prince, 2002). Pasien anak adalah anak yang berusia 0-14tahun (Cople dan Prince,2002).

    Analisis Data
    Data dikumpulkan adalah data dari rekam medis pasien bronchitis anak selama tahun 2009 mulai dari bulan januari sampai dengan desember. Data tersebut meliputi data mengenai karakteristik pasien, diagnosis, data pendukung diagnosis, dan pelaksanaan terapi. Data tersebut diolah serta dianalisa secara deskriptif, yaitu dengan menuturkan dan menafsirkan data bentuk tabel mengenai pengumpulan dan penyusunan data angka dari data rekam medik dan dibandingkan dengan standar terapi dan buku teks berupa Drug Interaction Fact dan Stockley;s Drugs Interaction.

    a.      Hasil Dan Pembahasan
    Penelitian ini dilakukan di RSUD Cilacap melalui rekam medis dengan metode retrospektif terhadap pasien bronkhitis yang menjalani rawat jalan selama tahun 2009. Berdasarkan hasil pengumpulan data populasi terdapat 140 kasus bronchitis anak.




    b.      Karakteristik populasi Penelitian
    Pasien bronkhitis anak ditinjau dari jenis kelamin di instalasi rawat jalan RSUD Cilacap. Perbandingan pasien wanita dan pria adalah sama dimana pasien wanita 50% dan pasien pria sebesar 50% dapat dilihat pada (tabel 1). Jumlah pasien bronchitis tidak ada perbedaan yang dipengaruhi jenis kelamin, namun di pengaruhi oleh debu, bakteri dan untuk mengatasi kekurangan oksigen, dan sanitasi lingkungan sehingga tidak ada perbedaan antara bronkhitis pada pasien laki-laki dan perempuan.
    Tabel 1. Jumlah dan Presentase Pasien Bronchitis Anak di Inatalasi Rawat Jalan RSUD Cilacap berdasarkan jenis kelamin

    Jenis Kelamin
    Jumlah Pasien
    Presentase
    Pria
    Wanita
    Total
    70
    70
    140
    50 %
    50 %
    100 %

    Evaluasi Potensial Interaksi Obat
    Pada penelitian dilakukan evaluasi pengobatan dengan menghitung prosentase kemungkinan terjadinya potensial DRPs. Dari tujuh keriteria DRPs hanya kami fokuskan pada kriteria ADR khususnya interaksi obat. Angka kejadian interaksi obat sebanyak 28 kasus (20%) dari 140 kasus yang ada.
    Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan secara retrospektif sehingga penelitian tidak bisa melihat gejala klinik yang timbul pada pasien jadi penelitian kemungkinan terjadinya interaksi obat ini hanya berdasarkan literatur yang ada tanpa adanya wawancara langsung dengan pasien. Berdasarkan data diperoleh kemungkinan terjadinya interaksi obat pada pasien bronkhitis rawat jalan di RSUD Cilacap tahun 2009 sangat besar. Hal ini di sebabkan karena banyak jumlah obat yang di berikan pada masing-masing pasien dan juga pemberian obat bronkhitis yang lebih dari satu macam pemberian obat yang banyak pada pasien yang di sebabkan karena pasien bronkhitis juga menderita penyakit lain sehingga obat yang di berikan banyak.

    Tabel 2. Jumlah dan Presentase Pasien Bronchitis Anak di Inatalasi Rawat Jalan RSUD Cilacap berdasarkan waktu kejadian

    Bulan
    Jumlah Pasien
    Presentasi
    Januari
    Februari
    Maret
    April
    Mei
    Juni
    Juli
    Agustus
    September
    Oktober
    November
    Desember
    Total
    4
    28
    3
    3
    3
    5
    5
    32
    20
    26
    8
    3
    140
    2,85 %
    20,00 %
    2,14 %
    2,14 %
    2,14 %
    3,57 %
    3,57 %
    22,85 %
    14,28 %
    18,57 %
    5,71 %
    2,14 %
    100 %



    Dari (tabel 2) dapat dilihat persentase kasus pasien penderita bronkhitis tiap bulannya selama tahun 2009. Persentase tertinggi terjadi pada bulan Agustus yaitu sebesar 22,85% hal ini dikarenakan pada bulan Agustus musim kemarau dimana bakteri dibawa oleh debu sehingga pada bulan ini kasus bronkhitis cukup tinggi di bandingkan bulan lainnya

    Tabel 3. Jumlah obat dalam satu resep pada terapi bronchitis anak di instalasi rawat jalan RSUD Cilacap tahun 2009



    Jumlah Obat Yang Diberikan
    Jumlah Pasien
    Presentase
    1  Macam Obat
    2-4 Macam Obat
    5-7 Macam Obat
    Total
    60
    77
    3
    140
    42,85 %
    55 %
    2,14 %
    100 %

    Telah diketahui interaksi obat dapat terjadi apabila dua atau lebih obat berinteraksi sedemikian rupa sehingga keefektifan atau toksisitas satu atau lebih obat berubah.


    Polifarmasi adalah penggunaan obat yang berlebih pasien dan penulisan obat berlebih oleh dokter dimana pasien menerima rata-rata 8-10 jenis obat sekaligus sekali kunjungan dokter atau pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dan dapat disembuhkan dengan satu jenis obat (Tan dan Rahardja, 2002).
    Pada penelitian kali ini jumlah obat yang paling banyak diberikan adalah 2-4 jenis obat yaitu sebanyak 77 pasien atau 55% (tabel 3). Pada pemberian resep lebih dari satu macam obat bertujuan untuk menyembuhkan penyakit bronchitis, sedangkan jumlah obat yang diberikan 5-7 jenis obat yaitu sebanyak 3 pasien atau 2,14% (tabel 3). Data yang di peroleh menunjukan bahwa tidak semua obat yang di gunakan pada pasien bronkhitis terjadi interakasi, baik obat bronkhitis dengan obat lain penderita yang potensial mengalamii interaksi obat yaitu sebanyak 28 kasus atau 20% (tabel 4). Asumsi bahwa pemberian obat lebih dari satu akan memberikan efek lebih baik menyebabkan masih banyak ditemukannya resep dengan jumlah obat lebih dari satu.
    Untuk mengatasi pemberian terapi bronchitis yang lebih dari satu, khususnya terapi anti bakteri dapat dilakukan dengan menetapkan suspek bacteri penyebeb infeksi. Secara umum pemilihan anti bakteri harus didasari identifikasi jenis bakteri yang terdapat dalam specimen (Bennet, P. N., dan Brown M. J., 2003). Dengan diketahuinya bakteri penyebabnya maka dapat dipilih antibakteri yang efektif menghambat atau membunuh bakteri tersebut.

    Tabel 4. Distribusi Kelompok Berdasarkan Jumlah Kejadian Interaksi Obat yang potensial Terjadi pada terapi bronchitis anak di rawat jalan RSUD Cilacap tahun 2009


    No
    Kelompok
    Jumlah Pasien
    Presentase
    1
    2

    Pontensial Interaksi
    Tidak Pontensial Interaksi
    Total
    28
    112
    140
    20 %
    80 %
    100 %

    Berdasarkan (tabel 5) menunjukan bahwa interaksi yang terjadi antara Obat Bronkhitis yang paling banyak terjadi adalah Erytromisin dengan Amoxcillin yaitu sebanyak 16 kasus atau 53,33 %. Penggunaan erytromisin bersamaan dengan anti bakteri lain (golongan penicillin) menunjukan antagonism secara invitro, namun kejadian secra klinis belum banyak ditemukan. Pada beberapa kasus kombinasi eritromicin dengan antimikroba lain terbukti efektif (Baxter, K. 2009). Senada dengan pernyataan diatas dilaporkan bahwa penggunaan amoxcillin dan erytromisin sinergis dalam efek terapi sehingga tidak perlu penanganan klinis (Tatro, 2006).
    Interaksi juga terjadi antara rifampisin dan isoniazid (table 5). Secara invitro dilaporkan bahwa penggunaan rifampisin bersamaan dengan isoniazid akan meningkatkan hepatoksisitas dari isoniazid (Askgaard D.S., etc, 1995 cit Baxter, K, 2009). Hal ini dikarenakan hidrazin, metabolit dari isoniazid meningkat kadarnya dalam serum (Baxter, K, 2009). Isoniazid merupakan senyawa yang mengalami variasi interpersonal. Hal ini juga harus menjadi perhatian dalam evaluasi interaksi obat. Pasien di cilacap sebagian besar adalah etnis jawa dan sunda yang memiliki kesamaan ras, oleh karena itu variasi interpersonal tidak menjadi masalah signifikan.

    Tabel 5. Potensial interaksi obat pada terapi bronkhitis anak rawat jalan RSUD Cilacap tahun 2009


    No.
    Nama Obat
    Signifikasi
    Jumlah
    Presentasi
    1
    2
    Amoxcillin x Erytromisin
    Rifamisin x Isoniazid
    Total
    5
    4
    16
    12
    28
    57,15 %
    42,85 %
    100 %

    Keterangan :
    a. Interaksi signifikasi 1 artinya: interaksi berat/ berbahaya dan terdokumentasi dengan baik.
    b. Interaksi signifikasi 2 artinya: interaksi berat/ berbahaya sampai sedang dan terdokumentasi
        dengan baik
    c. Interaksi signifikasi 3 artinya: Interaksi tidak berbahaya (ringan) dan terdokumentasi dengan
        baik
    d. Interaksi signifikasi 4 artinya: Interaksi tidak berbahaya sampai sedang data kejadian yang
         sangat terbatas
    e. Interaksi signifikasi 5 artinya: interaksi tidak berbahaya (ringan) dengan dokumentasi yang
         terbatas dan beberapa interaksi ini belum teruji secara klinik.

    Selain masalah interaksi obat jika diberikan bersamaan, efktivitas obat seharusnya juga menjadi perhatian. Karena biasanya penggunaan beberapa obat bersamaan akan meningkatkan toksisitas obat dan menurunkan efek obar (antagonisme) (Baxter, A. K., 2009). Terlebih jika pengguaannya pada pasien pediatric, yang secara umum belum sempurna beberapa fungsi organnya.

    Dalam terapi bronchitis penggunaan amoxicillin dosis tinggi merupakan pilihan pertama jika tidak disertai dengan gejala lain. Penggunaan eritromisin menjadi pilihan jika pasien diketahui alergi golongan penicillin. Oleh karena itu penggunaan amoxiciliin dan eritromisin bersamaan menjadi duplikasi dalam terapi bronkhitis. Pemberian rifampisin perlu dilakukan jika diketahui penyebab terjadinya infeksi adalah leginella, namun akan efektif jika dikombinasikan dengan eritromicin (Grene R. D., dan Harris, N, D., 2008). Pemilihan isoniazid dalam terapi bronchitis kurang berdasar, mengingat isoniazid adalah salah satu bakteri spesifik untuk Mycobacterium tuberculosis (lullmann, H., etc., 2005). Hal ini diduga dapat mempengaruhi efektifitas terapi Tuberculosis. Efektivitas terapi bronchitis sangat dipengaruhi oleh kemampuaan klinisi dalam menentukan penyebab infeksi. Oleh karena itu perlu dibuat standar terapi yang lebih jelas dan spesifik agar duplikasi terapi tidak lagi terjadi.




    BAB II
    ANALISA JURNAL

    2.1 Judul
    Tinjauan interaksi obat dalam terapi bronkhitis pada pediatri di instalasi rawat jalan rumah sakit umum daerah cilacap

    2.2 Tahun
    2009

    2.3 Peneliti
    Anjar Mahardian Kusuma, Tyas Adhyati Novica

    2.4 Tujuan Metode
    Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan wawasan tentang interaksi obat dalam terapi bronkhitis pada pediatri khususnya di instalasi rawat jalan rumah sakit umum daerah cilacap

    2.5 Hasil Penelitian
    Pasien bronkhitis anak ditinjau dari jenis kelamin di instalasi rawat jalan RSUD Cilacap. Perbandingan pasien wanita dan pria adalah sama dimana pasien wanita 50% dan pasien pria sebesar 50%. Dari tabel 2 dapat dilihat persentase kasus pasien penderita bronkhitis tiap bulanya selama tahun 2009. Persentase tertinggi terjadi pada bulan Agustus yaitu sebesar 22,85% hal ini dikarenakan pada bulan Agustus musim kemarau dimana bakteri dibawa oleh debu sehingga pada bulan ini kasus bronkhitis cukup tinggi di bandingkan bulan lainnya
    Dari tujuh keriteria DRPs hanya kami fokuskan pada kriteria ADR khususnya interaksi obat.
    Angka kejadian interaksi obat sebanyak 28 kasus (20%) dari 140 kasus yang ada.  Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan secara retrospektif sehingga penelitian tidak bisa melihat gejala klinik yang timbul pada pasien jadi penelitian kemungkinan terjadinya interaksi obat ini hanya berdasarkan literatur yang ada tanpa adanya wawancara langsung dengan pasien.
    Pada penelitian kali ini jumlah obat yang paling banyak diberikan adalah 2-4 jenis obat yaitu sebanyak 77 pasien atau 55% (tabel 3). Pada pemberian resep lebih dari satu macam obat bertujuan untuk menyembuhkan penyakit bronchitis, sedangkan jumlah obat yang diberikan 5-7 jenis obat yaitu sebanyak 3 pasien atau 2,14% (tabel 3).
    Data yang di peroleh menunjukan bahwa tidak semua obat yang di gunakan pada pasien bronkhitis terjadi interakasi, baik obat bronkhitis dengan obat lain penderita yang potensial mengalamii interaksi obat yaitu sebanyak 28 kasus atau 20% (tabel 4).
    Berdasarkan table 5 menunjukan bahwa interaksi yang terjadi antara Obat Bronkhitis yang paling banyak terjadi adalah Erytromisin dengan Amoxcillin yaitu sebanyak 16 kasus atau 53,33 %.
    Dalam terapi bronchitis penggunaan amoxicillin dosis tinggi merupakan pilihan poertama jika tidak disertai dengan gejala lain. Penggunaan eritromisin menjadi pilihan jika pasien diketahui alergi golongan penicillin. Oleh karena itu penggunaan amoxiciliin dan eritromisin bersamaan menjadi duplikasi dalam terapi bronkhitis. Pemberian rifampisin perlu dilakukan jika diketahui penyebab terjadinya infeksi adalah leginella, namun akan efektif jika dikombinasikan dengan eritromicin (Grene R. D., dan Harris, N, D., 2008). Pemilihan isoniazid dalam terapi bronchitis kurang berdasar, mengingat isoniazid adalah salah satu bakteri spesifik untuk Mycobacterium tuberculosis (lullmann, H., etc., 2005).

    2.6 Kesimpulan Dan Saran
    Kesimpulan   
    Pengobatan yang baik merupakan upaya pencegahan yang paling penting karena dapat mengurangi penyebaran penyakit tersebut dimasyarakat, kegagalan pengobatan / kambuh setelah pengobatan yang tidak teratur atau kombinasi yang buruk. Penggunaan obat yang tidak rasional dapat berdampak negatif kecuali tes pelayanan, keamanan, pelayanan pengobatan (menimbulkan resiko atau efek obat yang tidak diinginkan) terhadap biaya pelayanan (menambah biaya) dan dampak psikososial yang mengurangi kepercayaan masyarakat
                Berdasarkan beberapa tabel di atas dapat disimpulkan bahwa:
    1.      Perbandingan pasien wanita dan pria adalah sama dimana pasien wanita 50% dan pasien pria sebesar 50%.
    2.      Persentase tertinggi terjadi pada bulan Agustus yaitu sebesar 22,85% hal ini dikarenakan pada bulan Agustus musim kemarau.
    3.      Jumlah obat yang paling banyak diberikan adalah 2-4 jenis obat yaitu sebanyak 77 pasien atau 55%, sedangkan jumlah obat yang diberikan 5-7 jenis obat yaitu sebanyak 3 pasien atau 2,14%.
    4.      Data yang di peroleh menunjukan bahwa tidak semua obat yang di gunakan pada pasien bronkhitis terjadi interakasi, baik obat bronkhitis dengan obat lain penderita yang potensial mengalamii interaksi obat yaitu sebanyak 28 kasus atau 20%.
    5.      Interaksi yang terjadi antara Obat Bronkhitis yang paling banyak terjadi adalah Erytromisin dengan Amoxcillin yaitu sebanyak 16 kasus atau 53,33 %.

                          Saran 
    1. Perlu adanya kerjasama yang baik antara tenaga kerja profesional di rumah sakit. Hal ini  dilakukan agar pelayanan kesehatan dapat diberikan dengan baik sehingga DRPS pada pengobatan berbagai penyakit dapat dihindari.
    2. Supaya dalam pemberiaan obat kepada pasien agar disesuaikan dengan Standar Pelayanan
      Medis yang berlaku dalam penyusun karena dipisahkan berdasrkan penyakit yang diderita
      agar dalam penelusuran karena pasien lebih efektif.

    2.7  Implikasi terhadap keperawatan
    1.      Pentingnya kesadaran untuk menjaga kewaspadaan terhadap penyakit tersebut khususnya pada bulan agustus karena dari hasil penelitian didapatkan bahwa terjadi peningkatan kasus bronkhitis di bandingkan bulan lainnya.
    2.      Pemberiaan obat kepada pasien agar disesuaikan dengan Standar Pelayanan Medis yang berlaku dalam penyusun karena dipisahkan berdasrkan penyakit yang diderita agar dalam penelusuran karena pasien lebih efektif.

    2.8 Kelemahan dan Kelebihan
                          Kelemahan
    Seharusnya sasaran penelitian ini tidak hanya mencakup wilayah instalasi rawat jalan rumah sakit umum daerah cilacap tetapi bisa mencakup seluruh wilayah rumah sakit sekitarnya.

                          Kelebihan
    Metode yang digunakan dalam penelitian ini sudah bagus karena selain menggunakan tabel dan penjelasan yang mudah diteliti.




    DAFTAR PUSTAKA

    Arif, M. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi III. Mansjoer, Arif (Eds). Jakarta: Penerbit Media Aesculapius FK. UI
    Askgaard D.S., Wilcke T., Døssing M., 1995, Hepatotoxicity caused by the combined action of isoniazid and rifampicin. Thorax . 50. Cit Baxter, K., 2009, Stokley’s Drugs Interaction, London : Pharmaceutical Press
    Bennet, P. M., and Brown, M. J., 2003, Clinical Pharmacology, London : Churcil Livingston
    Baxter, K., 2009, Stokley’s Drugs Interaction, London : Pharmaceutical Press
    Cipole, RJ, Strand, L.M. and Morley, P.C. 1998.pharmaceeutical Care Practice, New York: M.C Graw Hill Companis, Inc,.
    Coyle, E.A, dan Prince, R.A,2002,Urinary Tract Infections and Prostatitic, In Dipro J,T,et al, Pharmacotherapy : A Pathophyciologic Approach 5 th Editions, New York: The Mc Graw Hill Companies, Inc.
    Greene R. J. and Harris N. D., 2008, Pathology and Therapeutics for Pharmacists A basis for clinical pharmacy practice 3rd Edition, London Pharmaceutical Press.
    Katzung, B.G., , 2004. Farmakologi dasar dan Klinik edisi 8.Universitas Air Langga : Salemba Medika Jakarta.
    Lullman H., Mohr, K., Hein, L., Bieger, D., 2005, Color Atlas Pharmacology 3rd Edition, New York : thieme
    Tatro, D.S. 2006. Drug Interaction Facts. Fifth Edition, Factor and Comparisons, Colifornia: a Walter Klower Company.

    Tan, H,T, dan Rahardja, K, 2002, Obat-Obat Penting,Edisi V. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia 

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar